--- In beasiswa@yahoogroups.com, "Mochammad Reza Prisman" <de_fritzmaan@...> wrote:
>
> Kalau saya pribadi masih belum sepaham dengan konsep yang katanya menggantikan konsep usang, mengenai mengabdi kepada negara dari jauh.. Caranya bagaimana? Pengabdian nyata seperti apa? Bagaimana mau mengabdi kepada negara kalau ilmunya tidak secara nyata diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan secara real time?
> Dengan menerbitkan jurnal-jurnal dan segala penelitian lain dari jauh, bukan berarti bermanfaat bagi negara.. Negara kita butuh motor2 penggerak yang mau membangun negara dari bawah, penuh keprihatinan bersama-sama.. Bukan hanya seorang peneliti handal dan penerbit jurnal belaka..
> Rakyat kita tidak hanya harus belajar dengan membaca, tapi juga harus belajar dengan bimbingan dan teladan.
>
> Demikian pandangan orang awam.
> Mohon maaf bila perkataan ada yang menyinggung.
> Master of Transport System and Engineering,
> Master of Intelligent Transport System,
> Traffic Agency of Brebes Regency
Bung Mochammad,
siapa yang bilang mengabdi kepada negara? Itu dia pemahaman yang masih sempit. Yang saya tekankan adalah network yang solid dengan orang Indonesia yang ada di dalam dan luar negeri. Misalnya yang businessman di luar negeri, bisa melakukan investasi balik ke Indonesia dengan berbagai kemudahan. Yang punya travel bereau bisa promosi pariwisata Indonesia ke negara dimana mereka tinggal. Yang jadi dosen atau profesor di luar negeri bisa memprioritaskan mahasiswa Indonesia untuk mereka bimbing dengan riset yang paling mutakhir di negara tersebut. Yang jadi politisi di negara tersebut bisa memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan bagi Indonesia. Bahkan yang sekedar jadi orang sipil di negeri orang bisa memberi contoh yang baik seperti apa orang Indonesia itu yang sebenarnya, apa benar seperti yang digambarkan pers internasional kalau orang Indonesia itu doyan korupsi dan tukang bom.
Tantangan untuk networking yang saya jabarkan itu terletak pada hasilnya. Efeknya baru bisa dirasakan jangka panjang, dan bukan jangka pendek. Kesalahan kita sebagai orang Indonesia adalah kecenderungan kita untuk berpikir jangka pendek tanpa mau investasi jangka panjang, dan berpikir bahwa gelas itu selalu separuh kosong. Era globalisasi itu bukan main-main, Bung. Kalau kita tetap berpikir isolasionis, dan berpikir jangka pendek terus mana mungkin Indonesia bisa maju. Memangnya anda pikir ini Jepang abad ke-19 pas restorasi Meiji? Jangan lupa kalau pas masa itu teknologi informasi juga masih jauh tertinggal, belum ada internet dan semacamnya. Saya yakin jika saat itu teknologi informasi sudah seperti abad ke-21, bangsa Jepang juga tidak akan sungkan-sungkan melakukan taktik seperti China dan India sekarang untuk mengirim pemuda-pemudi mereka belajar dari bangsa barat tanpa harus menekankan untuk balik ke negara mereka setelah selesai belajar.
Ok, jika anda sebagai orang awam masih susah mengerti juga kalau networking itu berguna untuk pembangunan nyata suatu bangsa, silakan lihat contoh langsung dari negara yang pembangunannya agresif seperti China dan India. Apa orang-orang cerdik-pandai dari China dan India di seluruh dunia itu hanya sekedar kabur dan menghilang tanpa kontribusi berarti bagi negara mereka? Bung, tolong dibedakan antara orang-orang Indonesia di luar negeri yang memilih 'menghilang' dan tidak peduli lagi dengan Indonesia setelah sampai di luar negeri, dengan orang Indonesia yang memilih tetap terhubung dengan orang Indonesia di dalam negeri, dan masih peduli dengan Indonesia. Biar mereka ini sudah memegan green card atau atau ganti kewarganegaraan sekalipun, saya malah merasa mereka lebih berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia dengan terus berkarya di luar negeri daripada mereka tersia-siakan begitu kembali. Masih lebih baik kita mengekspor tenaga kerja ahli ke seluruh dunia, daripada bisanya hanya mengekspor tenaga kerja kasar yang ujungnya2 membuat negara lain memandang enteng bangsa Indonesia sebagai 'bangsa babu'.
Saya juga tidak akan menutup mata akan orang-orang Indonesia di luar negeri yang seakan 'kacang lupa kulitnya'. Baru sebentar saja di luar negeri sudah lupa akan tanah air sendiri. Bisanya melihat yang jelek-jelek saja dari Indonesia, dan tidak mau mengakui prestasi yang telah diraih oleh bangsa Indonesia. Atau diikat kontrak 2n+1 untuk belajar ke luar negeri, malah uang beasiswanya dikorupsi sementara mereka enak-enak hujan emas di negeri orang. Waktu Indonesia susah pas tragedi Mei 1998, mereka malah tertawa-tawa dan bersyukur mendapat alasan tidak perlu meninggalkan negara maju dimana mereka berada. Orang-orang seperti itu sebenarnya kita harus bersyukur kalau mereka pergi, karena dimana-mana mereka hanya bisa sok kritis saja tanpa ada kontribusi berarti seperti benalu. Tidak peduli mereka itu di Indonesia, Malaysia, Eropa, Jepang, Amerika, bulan, atau planet Mars sekalipun.
Saya setuju dengan motor2 penggerak dari bawah, tapi itu saja tidak cukup. Pemerintah harus memberi fasilitas yang memadai. Pembangunan bottom up itu harus dibarengi dengan pembangunan top down. Mana mungkin orang-orang seperti Yohanes Surya bisa berhasil kalau tidak didukung pemerintah? Dan Pak Yohanes sendiri berharap memiliki orang-orang yang bisa dia andalkan di luar negeri agar anak2 TOFI yang telah susah-payah dia rekrut dan bina tidak 'menghilang' setelah dapat emas olimpiade. Saya tidak bilang tidak mungkin, tetapi akan jauh lebih susah jika tidak ada orang Indonesia di luar negeri yang dapat kita andalkan.
Terus terang, saya tidak setuju dengan yang anda sebut 'penuh keprihatinan bersama-sama', itu sih sama saja bilang karena saya hidup susah di Indonesia, semua orang juga mesti hidup susah biar adil. Baru kalau saya sudah tidak hidup susah, yang lain juga boleh tidak susah. Karena guru kita hidup susah, petani juga mesti hidup merana. Karena nelayan kita melarat, pedagang kita juga mesti sekarat. Karena dunia bisnis kita memble, akademi kita juga mesti kere. Kalau saya yang sarjana ini cuma jadi penganggur di Indonesia, mereka yang studi di luar negeri juga mesti balik dan menganggur biar adil. Mental seperti ini yang sebenarnya lebih menghambat pembangunan, daripada orang2 yang 'kabur' ke luar negeri dan tidak kembali.
Satu lagi bung, anda bilang 'Dengan menerbitkan jurnal-jurnal dan segala penelitian lain dari jauh, bukan berarti bermanfaat bagi negara.. ', loh anda pikir pekerjaan para peneliti itu apa? Peneliti itu dimana-mana ya kerjanya meneliti dan menerbitkan jurnal sesuai bidangnya. Dan agar penelitian terus berjalan, dana untuk meneliti harus tetap mengalir. Apa orang yang risetnya ingin fisika nanoteknologi mau anda larang, dan mesti riset pertanian saja? Atau orang yang ingin menimba ilmu di dunia otomotif mesti dilarang juga, dan mesti berkarya di bidang kelautan? Itu kembali lagi ke pemikiran susah itu mesti sama-sama (misery love company). Atau sama saja anda bilang kalau peneliti-peneliti itu tidak ada manfaatnya bagi negara.
Sekali lagi, pendapat saya sama sekali tidak berubah. Jauh lebih bermanfaat orang-orang kita yang ada di luar negeri membangun network yang solid dengan sesama orang Indonesia di dalam dan luar negeri, daripada mereka tersia-siakan dan menghilang begitu kembali ke tanah air (pikirkan model pembangunan ala China dan India di abad ke-21 yang menekankan network solid di seluruh dunia, dan tinggalkan konsep usang isolasionis ala Jepang di abad ke-19).
Mohon maaf jika ada perkataan yang menyinggung.
Maju, Laskar Beasiswa!!
Frank
http://id-scholarships.blogspot.com/
===============================
INFO LOWONGAN DI BIDANG MIGAS:
http://www.lowongan-kerja.info/lowongan/oil-jobs/
===============================
INGIN KELUAR DARI MILIS BEASISWA?
Kirim email kosong ke beasiswa-unsubscribe@yahoogroups.com